Jumat, 31 Agustus 2007

Ayah!!

Ayah!
Betapa menggetarkannya panggilan itu. Betapa mengharubirukannya nada itu. Betapa menggairahkannya suara patah-patah itu. Selalu ada nuansa baru setiap kali empat huruf itu menguntai menjadi kata dan meluncur dari mulut kecil seorang bocah.

Ayah!
Betapa kata itu memberi saya, dan juga kamu, bahkan kita semua para ayah, gairah kehidupan yang senantiasa mendorong langkah kita untuk melanjutkan perjalanan berat ini, merambah belantera dunia yang kadang tidak bersahabat, atau bahkan memecahkan seonggok karang besar di tengah samudera kehidupan.
Setelah kata iman, tidak ada lagi kata dalam kamus kehidupan-selain kata ayah yang mampu mengajari Anda tentang makna pertanggungjawaban yang paling hakiki. Sesuatu yang muncul dengan tulus saat Anda menangkap kesan “diharapkan” dibalik panggilan itu. Sesuatu yang muncul dengan kuat dan elegan ketika Anda merasa menjadi “benteng” proteksi dan perlindungan bagi sejumlah anak manusia. Sesuatu yang dapat mengubah pemujaan Anda terhadap diri sendiri menjadi pengorbanan yang paling tulus ketika Anda harus menjadi perisai bagi beberapa jiwa manusia. Dan tiba-tiba saja Anda telah berada di situ, di depan kata ini: M A U T ! Dan dua butir bola kecil yang membulir di celah pipi Anda takkan pernah membuatmu sedih, atau bahkan menyentuh perasaan yang begitu kuat menggelora dalam batin: kebanggaan.

Ayah!
Tapi kata itu adalah juga melodi yang paling harmonis dengan getaran obsesi kelaki-lakian kita. Beberapa bagian dari “makna sosial” kelaki-lakian kita takkan pernah terpenuhi sebelum kata itu mengganti nama saya, dan juga Anda, untuk kemudian menjadi panggilan sehari-hari. Mimpi-mimpi superioritas Anda sebagiannya menjelma jadi kenyataan di sini: ketika bocah-bocah kecil itu bergelendotan di lengan kekar Anda, atau ketika isteri Anda melakukan sesuatu yang tidak Anda senangi dan Anda mengatakan: saya tidak suka ini!
Mungkin Anda bukan seorang penguasa negara atau seorang jenderal dengan ribuan prajurit atau seorang manajer besar dengan ratusan bawahan. Mungkin sekali Anda hanya seorang prajurit biasa, atau seorang bawahan kecil, atau seorang pesuruh. Tapi, rumah-walaupun hanya kontral-tempat Anda setiap hari dipanggil ayah, adalah wilayah teritorial Anda. Dalam wilayah kecil itu, masih tersisa sesuatu yang bisa memberi Anda rasa berkuasa. Karena Anda adalah ayah. Karena Anda adalah qawwam.
Mungkin posisi dalam pekerjaan Anda tidak menggoda orang banyak untuk selalu memberi Anda seuntai senyum manis pagi hari. Bahkan sebaliknya, Andalah yang harus setiap saat mengobral senyum untuk memberi kesan hormat, untuk memuaskan rasa berkuasa atasan Anda, dan untuk mempertahankan posisi Anda yang sebenarnya sudah sempit dan sumpek. Tapi, di sini dalam wilayah teritorial Anda tadi, Anda berhak mendapat senyum dan ciuman tangan sebelum Anda berangkat ke tempat kerja, untaian doa-doa sepanjang Anda diperjalanan dan tempat kerja, dan sebuah senyyum manis ketika Anda mengetuk pintu rumah Anda di sore hari. Anda memang berhak mendapatkan itu. Karena Anda seorang ayah. Juga karena Anda memang sangat membutuhkannya, sebab ia menciptakan keseimbangan sosiopsikis dalam diri Anda, memberi Anda proteksi psikologis, memaknai kehadiran sosial Anda sebagai manusia dan membuat Anda merasa lebih berharga. Anda membutuhkan perasaan-perasaan seperti itu, sesuatu yang akan menghilangkan rasa lelah dalam jiwa dan raga Anda, sama seperti ketenangan malam yang menghilangkan sengatan matahari siang.

Ayah!
Itulah kata yang mengajari Anda makna hakiki dari pertanggungjawaban, memberi Anda semua kebutuhan Anda akan rasa bangga, makna kehadiran sosial, obsesi kelaki-lakian, superioritas, rasa berkuasa. Itu ketika Anda memaknai kata itu dengan perilaku dan pola sikap yang balance dengan semua janji psikologis yang tersimpan dibaliknya.
Dan kita semua membutuhkan itu. Agar kita kuat mengarungi lautan kehidupan, agar kita tegar menerjang gelombang samudera, agar kulit perasaan kita tidak terbakar oleh sengatan matahari, agar telapak kaki kita tetap teguh melewati duri-duri, agar mata hati kita selalu dapat memandang lebih jauh dari batas kaki langit, agar ingatan kita mengenang sore di pagi hari dan mengenang pagi di sore hari: semua agar kita mampu memberi sesuatu bagi yang lain.
Kata itu memberi kita begitu banyak. Tapi semua yang diberikannya itu adalah sesuatu yang akan membuat kita sanggup memberi. Sebab kita bukan lilin. Sebab kita adalah manusia. Sebab pecahan-pecahan diri kita adalah jiwa, adalah rasa, adalah raga.
Dan ketika Anda mendapatkan itu, Anda akan merasakan betapa sulitnya mencari sumber lain yang dapat memberikan Anda sesuatu yang telah diberikan oleh Sang Ayah. Kekayaan akanmenjadi ancaman ketika Anda memiliki dan menikmatinya sendiri. Popularitas akan berbalik menjadi bumerang ketika Anda harus menanggung bebannya seorang diri. Anda tidak akan pernah kuat mendayung perahu kehidupan ini seorang diri. Bumi besar ini akan akan berubah menjadi penjara kesepian yang akan mencampakkan Anda pada sunyi yang panjang tak berujung.
Kata itulah yang memungkinkan Anda menemukan ”sahabat-sahabat” setia yang akan menemani Anda menikmati kekayaan Anda di saat Anda hidup dan setelah Anda mati. Kata itulah yang akan menciptakan ”pengagum-pengagum” abadi ketika popularitas Anda sedang menanjak dan ketika semua mencemooh Anda. Kata itulah yang membuat Anda selamanya merasa ”diterima”.

Ayah!
Dan ketika lelaki-lelaki modern enggan menjadi kata itu, maka kata itu enggan menjadi mereka. Ketika mereka menolak janji-janji kata itu, menanggapnya sebagai gerbang menuju neraka, menganggapnya sebagai pintu penjara, kata itu justru enggan membantu mereka melepaskan diri dari jeratan kesendirian, membasuh kulit mereka yang melepuh akibat sengatan matahari. Kata itu jadi enggan menyediakan dermaga tempat mereka menambat perahu mati, berlabuh dari galau kehidupan.
Satu-satu laki-laki modern itu mati tertusuk sembilu sei. Dan padi-padi kuning yang dulu menyiur melambai, kini gugur satu-satu. Dunia kita telah menjelma menjadi tanah tandus yang retak, rumah-rumah kita menjadi sarang hantu yang begitu menyeramkan. Takkan pernah ada diantara mereka yang sanggup bertahan lama. Setiap jengkal tanah yang kita lewai adalah mayat. Dan ketika mayat-mayat telah habis, kitalah yang akan menjadi jengkal tanah baru yang akan dilalui oleh mereka yang ditakdirkan hidup. Bumi kita bukan lagi firdaus. Ia telah menjelma menjadi kuburan tanpa batas.
Di ujung jengkal tanah itu, ketika tak lagi ada sisa mayat, ketika sebentar lagi ia akan menjadi sejengkal tanah, seorang lelaki tua dari tanag Egypt, aktor dunia yang kini bermukim di Perancis, berujar perlahan: ”Ambilah segenap kekayaan danpopularitasku, tapi berikan aku seorang anak, biarkan tangisnya memecah sunyi dalam jiwaku. Aku ingin jadi ayah!”
Omar El Syarif, lelaki tua itu, seperti menyampaikan pesan dari dunia lain.

Disadur dari Majalah Ummi, Kolom Ayah, tulisan Manis Matta.

Tidak ada komentar: