Minggu, 07 Oktober 2007

Karena Kau Tidak Harus Mengatakan Semuanya

Judul ini terinspirasi dari tulisan H. Anis Matta dalam rubrik “Kolom Ayah” pada majalah Ummi. Tulisan ini mungkin dapat menjadi bahan kontemplasi bagi kita semua terutama yang telah menikah, atau bagi yang belum sempat menikmati indahnya maghligai perkawinan. Banyak permasalahan yang timbul dalam perjalanan kehidupan pernikahan kita yang umumnya berawal dari hal-hal sepele yang awalnya mungkin mempunyai maksud yang baik. Seperti, apakah kita tidak boleh “bohong” kepada pasangan hidup kita? Dan mengapa kita sebaiknya tidak harus mengatakan semuanya pada pasangan hidup kita. Mungkin kita tidak menyadari bahwa gangguan dalam hubungan keluarga justru berawal dari keterusterangan.
Ada sebuah kisah menarik dimana ada seorang pria yang menduduki posisi yang cukup tinggi di sebuah perguruan tinggi di Amerika Serikat. Ia menikah dengan seorang wanita yang cerdas, dewasa, dan penuh perhatian. Mereka sepakat untuk saling berterus terang dan dan tidak boleh menyembunyikan secuilpun dari rahasia dan masalah pribadi mereka. Kemudian pria tersebut mulai mulai menceritakan masa lalunya misal, mengenai masa pertumbuhan di tengah keluarga yang kurang harmonis. Ayahnya seorang suami yang otoriter dan dominan, sedangkan ibunya seorang ibu rumah tangga yang penurut.
Cerita ini ternyata terekam dengan sangat baik dalam benak istri. Menjadi hal yang biasa dalam kehidupan perkawinan kemudian muncul pertengkaran-pertengkaran kecil dalam hubungan pernikahan mereka. Hanya masalahnya adalah setiap kali tejadi pertengkaran, isterinya selalu mengatakan: “Kamu persis dengan ayahmu, kamu benar-benar mewarisi sifat ayahmu yang suka menguasai orang.” Lama kelamaan kalimat tersebut melukai perasaannya. Setiap kali istrinya mengucapkan kalimat tersebut, setiap kali itu pula dia merasa terluka. Ia hanya bisa menyadari: “Semestinya ia tidak perlu berterus terang sampai sejauh itu.”
Melihat kasus di atas ternyata keterusterangan yang terkait dengan perasaaan-perasaan temporal dan cenderung berubah-ubah sangat berbahaya. Hal ini tidak berarti kita menjadi “diam” terhadap pasangan kita, tetapi masing-masing harus realistik dalam melihat situasi. Oleh karena itu, kita tidak mungkin membebankan semua perasaan kita kepada pasangan kita dan harus membedakan antara amarah dengan keterusterangan. Maka ketika kita merasakan sesuatu yang rasanya kurang enak didengar, seperti perasaan jengkel dan semacamnya, itu menjadi saat kita untuk belajar berbasa-basi. Tersenyum pada saat marah, bermesraan pada saat dongkol, dan mengatakan cinta pada saat benci. Melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak Anda rasakan akan menjadi sesuatu yang berat, tetapi hal itu harus dilakukan dan menjadi lebih bermanfaat dalam menjaga keutuhan kelurga daripada sekedar melegakan hati dengan melepas semua perasaan menjadi kata-kata.
Hal ini sepertinya menjadi sesuatu yang berat karena kita harus memutar balik perasaan kita dengan mencegat apa yang kita rasakan menjadi kata. Selalu mengatakan semua kepada pasangan hidup kita cenderung akan menanam bom waktu dalam kehidupan pernikahan kita. Kita harus mampu memilah dan membuat prioritas dalam pergaulan rumah tangga sehingga “berbohong” kepada pasangan hidup mungkin menjadi salah satu solusi yang dapat kita pilih. Berbohong ini dalam pengertian mengatakan sesuatu yang berbeda dengan yang kita rasakan, tetapi bukan dalam maksud menyembunyikan kesalahan atau dosa yang kita lakukan. Mungkin, secara jangka panjang hal tersebut akan lebih bermanfaat bagi kehidupan pernikahan yang kita bina dan dapat meringankan beban hidup karena lebih baik mengucapkan sayang dalam basa basi daripada cerai beneran.

Minggu, 09 September 2007

Aku Ingin

Aku cinta kamu!
Berapa kali Anda mengucapkan kalimat itu kepada istri Anda dalam sehari?Saya jelas tidak bisa menebaknya. Tapi bebarapa orang suami atau istri mungkin bertanya: perlukah itu diucapkan setiap hari? Apa yang mungkin “dilakukan “ kalimat itu, dalam hati seorang istri, bila itu diucapkan seorang suami, pada saat anak ketiganya menangis karena susunya habis? Ada juga anggapan seperti ini: kalimat itu hanya dibutuhkan oleh mereka yang omantis dan sedang jatuh cinta, dan itu biasanya ada sebelum atau pada awal-awal pernikahan. Setelah usia nikah memasuki tahun ketujuh, realita dan rutinitas serta perasaan bahwa kita sudah tua membuat kita tidak membutuhkannya lagi.
Kita juga hampir percaya bahwa romantika itu tidak akan bertahan di depan gelombang realitas atau bertahan untuk tetap berjalan bersama usia pernikahan. Tapi kemudian kia menemukan ada satu fitrah yang lekat kuat dalam diri manusia bahwa sifat kekanak-kanakan-ddan tentu dengan segala kebutuhan psikologisnya-tidak akan pernah lenyap sama sekali dari kepribadian seseorang selama apapun usia memakan perasaannya. Kebutuhan anak-anak akan ungkapan-ungkapan verbal yangs sederhana dan lugas dari ekspresi rasa cinta itu sama-sama dibutuhkandan tidak ada alasan untuk mengatakan bahwa yang satu lebih dibutuhkan dari yang lain.
Perasaan manusia selamanya fluktuatif. Demikian pula semua jenis emosi yang dianggap dalam perasaan kita. Kadar rasa cinta, benci, takut, senang, dan semacamnya tidak akan pernah sama dari waktu ke waktu. Tetapi yang mungkin terasa sublim adalah fluktuasi perasaan itu sering tidak disadari dan tidak terungkap atau disadari tai tidak terungkap.
Situasi ini kemudian mengantar kepada kenyataan lain. Bahwa setiap kita tidak akan pernah bisa mengetahui dengan pasti perasaan orang lain terhada dirinya. Kita mungkin bisa menangkap itu dari sorotan mata, gerak tubuh, dan perlakuan umum, tapi detil perasaan itu tetap tidak terungkap selama ia tidak diungkap secara verbal.
Perlukah detail perasaan itu kita ketahui, kalau isyarat-isyaratnya sudah terungkap? Mungkin ya mungkin tidak. Tapi yang pasti bahwa kita semua, dari waktu ke waktu, membutukan kepastian. Kepastian bahwa kita tidak salah memahami isyarat tersebut. Bukankah kepastian juga yang diminta Nabi Ibrahim ketik beliau ingin menghidupkan dan mematikan?
Dari bab inilah ungkapan verbal berupa kata menemukan maknanya. Bahkan sesungguhnya ada begitu banyak kekurangan dalam perbuatan yang ”beban psikologisnya” dapat dikurangi dengan kata. Ketika Anda menolak seorang pengemis karena tidak memiliki sesuatu yang dapat Anda sedekahkan, itu tentu sakit bagi pengemis itu. Tapi Allah menyuruh kita mengurangi beban sakit itu dengan kata yang baik. Bukankah ”perkataan yang baik lebih baik dari sedekah yang disertai cacian?”
Jika kepada sesama sahabat rasa cinta harus diungkapkan secara verbal, dapatkah kita membayangkan seperti apakah verbalnya ungkapan rasa cinta yang semestinya kita berikan kepada istri kita? Apakah makhluk yang satu itu, yang mendampingi kita lebih banyak dalam saat-saat lelah dan susah dibandingkan saat-saat suka dan lapang, tidak lebih berhak untuk mendengarkan ungkapan rasa cinta itu?
Di tengah kesulitan ekonomi sekarang ini, tidak banyak diantara kita yang sanggup memenuhi kebutuhan-kebutuhan rumah tangga secara ideal. Dan dalam banyak hal kita mungkin perlu untuk lebih toleran dalam memandang pola hubungan hak dan kewajiban yang sering kali manandai bentuk hubungan kita secara harfiah. Atau mungkin mengurangi efek psikologis yang ditumbuhkan oleh ketidakmampuan kita memenuhi semua kewajiban dengan ”kata yang baik”.
Anda mungkin seriing melihat betapa lelahnya istri Anda menyelesaikan pekerjaan-pekerjaan rumah. Mulai dari memasak, mencuci, sampai menjaga dan merawat anak. Setan apakah yang telah meyajinkan kita begitu rupa bahwa makhluk mulia yang bernama istri saya atau istri Anda tidak butuh ungkapan ”I Love You” karena kita sudah sama-sama tah, sama-sama paham, atau karena kita sudah sama-sama tua dan karenanya tidak cocok menggunakan cara ”anak-anak muda” menyalakan cinta? Setan apakah yang telah membuat kita begitu pelit untuk memberikan sesuatu yang manis walaupun itu hanya ungkapan kata? Setan apakah yang telah membuat kita begitu angkuh untuk mau merendah dan membuka rahasia hati kita yang sesungguhnya dan menyatakan secara sederhana dan tanpa beban?
Tapi mungkin juga ada situasi begini. Anda mencintai istri Anda. Anda juga tidak terhambat oleh keangkuhan untuk menyatakannya berulang-ulang. Masalahnya hanya satu. Anda tidak bisa melakukan itu. Dan itu membuat Anda kaku
Jika Anda termasuk golongan ini, utlislah pula puisi Sapardi Djoko Damono ini dan berikanlah tia kepada istri Anda melalui putra atau putri Anda.

Aku Ingin

Aku ingn mencintaimu dengan sederhana:
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu

Aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujanyanh menjadikannya tiada.

Jumat, 31 Agustus 2007

Ayah!!

Ayah!
Betapa menggetarkannya panggilan itu. Betapa mengharubirukannya nada itu. Betapa menggairahkannya suara patah-patah itu. Selalu ada nuansa baru setiap kali empat huruf itu menguntai menjadi kata dan meluncur dari mulut kecil seorang bocah.

Ayah!
Betapa kata itu memberi saya, dan juga kamu, bahkan kita semua para ayah, gairah kehidupan yang senantiasa mendorong langkah kita untuk melanjutkan perjalanan berat ini, merambah belantera dunia yang kadang tidak bersahabat, atau bahkan memecahkan seonggok karang besar di tengah samudera kehidupan.
Setelah kata iman, tidak ada lagi kata dalam kamus kehidupan-selain kata ayah yang mampu mengajari Anda tentang makna pertanggungjawaban yang paling hakiki. Sesuatu yang muncul dengan tulus saat Anda menangkap kesan “diharapkan” dibalik panggilan itu. Sesuatu yang muncul dengan kuat dan elegan ketika Anda merasa menjadi “benteng” proteksi dan perlindungan bagi sejumlah anak manusia. Sesuatu yang dapat mengubah pemujaan Anda terhadap diri sendiri menjadi pengorbanan yang paling tulus ketika Anda harus menjadi perisai bagi beberapa jiwa manusia. Dan tiba-tiba saja Anda telah berada di situ, di depan kata ini: M A U T ! Dan dua butir bola kecil yang membulir di celah pipi Anda takkan pernah membuatmu sedih, atau bahkan menyentuh perasaan yang begitu kuat menggelora dalam batin: kebanggaan.

Ayah!
Tapi kata itu adalah juga melodi yang paling harmonis dengan getaran obsesi kelaki-lakian kita. Beberapa bagian dari “makna sosial” kelaki-lakian kita takkan pernah terpenuhi sebelum kata itu mengganti nama saya, dan juga Anda, untuk kemudian menjadi panggilan sehari-hari. Mimpi-mimpi superioritas Anda sebagiannya menjelma jadi kenyataan di sini: ketika bocah-bocah kecil itu bergelendotan di lengan kekar Anda, atau ketika isteri Anda melakukan sesuatu yang tidak Anda senangi dan Anda mengatakan: saya tidak suka ini!
Mungkin Anda bukan seorang penguasa negara atau seorang jenderal dengan ribuan prajurit atau seorang manajer besar dengan ratusan bawahan. Mungkin sekali Anda hanya seorang prajurit biasa, atau seorang bawahan kecil, atau seorang pesuruh. Tapi, rumah-walaupun hanya kontral-tempat Anda setiap hari dipanggil ayah, adalah wilayah teritorial Anda. Dalam wilayah kecil itu, masih tersisa sesuatu yang bisa memberi Anda rasa berkuasa. Karena Anda adalah ayah. Karena Anda adalah qawwam.
Mungkin posisi dalam pekerjaan Anda tidak menggoda orang banyak untuk selalu memberi Anda seuntai senyum manis pagi hari. Bahkan sebaliknya, Andalah yang harus setiap saat mengobral senyum untuk memberi kesan hormat, untuk memuaskan rasa berkuasa atasan Anda, dan untuk mempertahankan posisi Anda yang sebenarnya sudah sempit dan sumpek. Tapi, di sini dalam wilayah teritorial Anda tadi, Anda berhak mendapat senyum dan ciuman tangan sebelum Anda berangkat ke tempat kerja, untaian doa-doa sepanjang Anda diperjalanan dan tempat kerja, dan sebuah senyyum manis ketika Anda mengetuk pintu rumah Anda di sore hari. Anda memang berhak mendapatkan itu. Karena Anda seorang ayah. Juga karena Anda memang sangat membutuhkannya, sebab ia menciptakan keseimbangan sosiopsikis dalam diri Anda, memberi Anda proteksi psikologis, memaknai kehadiran sosial Anda sebagai manusia dan membuat Anda merasa lebih berharga. Anda membutuhkan perasaan-perasaan seperti itu, sesuatu yang akan menghilangkan rasa lelah dalam jiwa dan raga Anda, sama seperti ketenangan malam yang menghilangkan sengatan matahari siang.

Ayah!
Itulah kata yang mengajari Anda makna hakiki dari pertanggungjawaban, memberi Anda semua kebutuhan Anda akan rasa bangga, makna kehadiran sosial, obsesi kelaki-lakian, superioritas, rasa berkuasa. Itu ketika Anda memaknai kata itu dengan perilaku dan pola sikap yang balance dengan semua janji psikologis yang tersimpan dibaliknya.
Dan kita semua membutuhkan itu. Agar kita kuat mengarungi lautan kehidupan, agar kita tegar menerjang gelombang samudera, agar kulit perasaan kita tidak terbakar oleh sengatan matahari, agar telapak kaki kita tetap teguh melewati duri-duri, agar mata hati kita selalu dapat memandang lebih jauh dari batas kaki langit, agar ingatan kita mengenang sore di pagi hari dan mengenang pagi di sore hari: semua agar kita mampu memberi sesuatu bagi yang lain.
Kata itu memberi kita begitu banyak. Tapi semua yang diberikannya itu adalah sesuatu yang akan membuat kita sanggup memberi. Sebab kita bukan lilin. Sebab kita adalah manusia. Sebab pecahan-pecahan diri kita adalah jiwa, adalah rasa, adalah raga.
Dan ketika Anda mendapatkan itu, Anda akan merasakan betapa sulitnya mencari sumber lain yang dapat memberikan Anda sesuatu yang telah diberikan oleh Sang Ayah. Kekayaan akanmenjadi ancaman ketika Anda memiliki dan menikmatinya sendiri. Popularitas akan berbalik menjadi bumerang ketika Anda harus menanggung bebannya seorang diri. Anda tidak akan pernah kuat mendayung perahu kehidupan ini seorang diri. Bumi besar ini akan akan berubah menjadi penjara kesepian yang akan mencampakkan Anda pada sunyi yang panjang tak berujung.
Kata itulah yang memungkinkan Anda menemukan ”sahabat-sahabat” setia yang akan menemani Anda menikmati kekayaan Anda di saat Anda hidup dan setelah Anda mati. Kata itulah yang akan menciptakan ”pengagum-pengagum” abadi ketika popularitas Anda sedang menanjak dan ketika semua mencemooh Anda. Kata itulah yang membuat Anda selamanya merasa ”diterima”.

Ayah!
Dan ketika lelaki-lelaki modern enggan menjadi kata itu, maka kata itu enggan menjadi mereka. Ketika mereka menolak janji-janji kata itu, menanggapnya sebagai gerbang menuju neraka, menganggapnya sebagai pintu penjara, kata itu justru enggan membantu mereka melepaskan diri dari jeratan kesendirian, membasuh kulit mereka yang melepuh akibat sengatan matahari. Kata itu jadi enggan menyediakan dermaga tempat mereka menambat perahu mati, berlabuh dari galau kehidupan.
Satu-satu laki-laki modern itu mati tertusuk sembilu sei. Dan padi-padi kuning yang dulu menyiur melambai, kini gugur satu-satu. Dunia kita telah menjelma menjadi tanah tandus yang retak, rumah-rumah kita menjadi sarang hantu yang begitu menyeramkan. Takkan pernah ada diantara mereka yang sanggup bertahan lama. Setiap jengkal tanah yang kita lewai adalah mayat. Dan ketika mayat-mayat telah habis, kitalah yang akan menjadi jengkal tanah baru yang akan dilalui oleh mereka yang ditakdirkan hidup. Bumi kita bukan lagi firdaus. Ia telah menjelma menjadi kuburan tanpa batas.
Di ujung jengkal tanah itu, ketika tak lagi ada sisa mayat, ketika sebentar lagi ia akan menjadi sejengkal tanah, seorang lelaki tua dari tanag Egypt, aktor dunia yang kini bermukim di Perancis, berujar perlahan: ”Ambilah segenap kekayaan danpopularitasku, tapi berikan aku seorang anak, biarkan tangisnya memecah sunyi dalam jiwaku. Aku ingin jadi ayah!”
Omar El Syarif, lelaki tua itu, seperti menyampaikan pesan dari dunia lain.

Disadur dari Majalah Ummi, Kolom Ayah, tulisan Manis Matta.

Selasa, 28 Agustus 2007

KEBAIKAN VS KEBURUKAN

Dalam hidup kita selalu dihadapkan pada permasalahan moral ataupun etika tentang sesuatu yang dianggap baik dan buruk..

tapi apakah sesuatu yang dianggap baik atau buruk itu selalu menjadi suatu kebenaran yang universal ?
sebagai contoh adalah perdamaian, apakah perdamaian itu selalu menjadi suatu kebaikan ?
atau juga pembunuhan... apakah pembunuhan itu akan selalu menjadi suatu keburukan ?
bagaimana bila suatu perdamaian itu mengorbankan salah satu pihak, yaitu biasanya pihak yang lebih lemah, sehingga merugikan dengan kerugian yang sangat besar secara moril ,materiil bahkan kehidupan suatu kelompok masyarakat, apakah perdamaian tadi masih tetap menjadi kebaikan ?
atau bagaimana bila pembunuhan itu dilakukan terhadap orang yang membuat kekacauan dan fitnah dimasyarakat, dan yang menyebabkan ratusan jiwa melayang, dan dia masih akan terus melakukanya, demi terwujudnya tujuan dia... apakah bagaimanapun juga pembunuhan itu suatu keburukan ?

atau juga yang sering menjadi perdebatan di forum ini, apakah daulah Islam itu selalu akan menjadi kebaikan ?

atau banyak juga masalah masalah besar dan kecil, selalu dikaitkan dengan masalah baik dan buruk...

apakah itu sesuatu yang mutlak ? suatu kebenaran yang universal, atau mesti dikaitkan dengan kondisi dan kepentingan seseorang atau sekelompok orang ?

berarti apakah suatu keburukan bagi sekelompok orang akan menjadi suatu kebaikan bagi kelompok yang lain...

kalo begitu apakah berarti tidak ada yang namanya kebaikan dan keburukan...?